Empat kontestan dari Belanda, Portugis, Jepang, dan Indonesia mengikuti perlombaan adu tahan terhadap bau busuk. Sesudah keempat kontestan dimasukkan ke dalam kandang kambing yang luar biasa tengiknya, lantas juri menghitung berapa lama mereka sanggup bertahan di dalamnya. Yang paling lama bertahan, dialah pemenangnya.
Setelah satu jam berlalu, pintu kandang kambing pun terbuka dan keluarlah si Belanda dari kandang tersebut. Setelah dua jam berlalu, pintu kandang kembali terbuka dan keluarlah si Portugis berbarengan dengan si Jepang. Akibat didera bau busuk sekian lama, ketiga-tiganya langsung semaput dan dilarikan ke rumah sakit.
Terus, bagaimana dengan si Indonesia? Jam demi jam dilewati, akan tetapi ia tetap bertahan di dalam. Tepat duabelas jam, akhirnya pintu kandang terbuka. Ternyata yang keluar bukannya si Indonesia, melainkan si kambing! Sambil berjalan sempoyongan, si kambing menggerutu dalam bahasa hewan, “Berani-beraninya manusia nyaingin gue.”
Persaingan, siapa sih yang sanggup menghindar darinya? Dan sudah menjadi hukum alam, begitu mengorbit, merek akan berhadap-hadapan dengan anti-brand. Di tanah air, kesuksesan Flexi dan Indomie mengundang anti-brand namanya Esia dan Mi Sedaap. Hadir pula Filma, anti-brand-nya Bimoli. Indopos, anti-brand-nya Kompas (Konon, inilah babak baru pergulatan antara Dahlan Iskan dan Jakoeb Oetama).
Bagaimana di luar negeri? Yah, kurang-lebih sama saja. Kesuksesan Windows dan PlayStation mengundang anti-brand bernama Linux dan X-Box. Ada pula Warner Bros, anti-brand-nya Walt Disney. Papa John's, anti-brand-nya Pizza Hut. Seiring perjalanan waktu, gesekan anti-brand pun semakin keras. Undoubtedly!
Persis seperti dunia entertainment, di mana popularitas seorang celeb juga sering dibuntuti tentangan dan tantangan. Perlu contoh? Lihatlah, Britney Spears yang dikecam oleh Christina Aguilera. Boy band Backstreet Boys yang diejek oleh band alternatif Blink 182. Inul Daratista yang dihujat oleh Rhoma Irama. Nah, apakah penolakan-penolakan itu berhasil memudarkan popularitas mereka? Ternyata, apa yang terjadi malah sebaliknya. Siapa sih yang meragukan ketenaran Britney, Backstreet Boys dan Inul? Setidak-tidaknya ketika itu. Dunia politik pun tidak luput dari pengecualian. Pamor SBY justru meroket bahkan menang telak saat pemilu setelah dilecehkan sebagai anak kecil oleh lawan politiknya. Sidang pembaca sekalian, itulah manfaat nomor satu dari anti-brand, yakni melejitkan bahkan melambungkan popularitas.
Hei, tunggu dulu! Jangan salah paham, ya! Di sini saya tidak berkhotbah bahwa anti-brand tidak perlu diwaspadai. Bukan, bukan! Waspada, itu sih harus. Apa yang saya coba ungkapkan di sini adalah sejumlah dampak positif yang jarang diketahui oleh kebanyakan orang.
Di antaranya, mengedukasi & menghimpun konsumen, sehingga pada akhirnya memperluas market size secara keseluruhan. Sebenarnya, perseteruan tiada henti antara Kacang Garuda dan Kacang Dua Kelinci memaksa konsumen untuk lebih aware akan keberadaan kacang ketimbang snack yang lain. Selain itu, anti-brand juga memicu dan memacu potensi diri. Lebih jauh lagi, anti-brand akan menebar citra positif pada seluruh pemain sekaligus menjadi bahan benchmarking.
Jadi, soal musuh, nggak perlu dikuatirkan. Nabi saja punya musuh, apalagi Anda! Justru kemasyhuran Anda patut diragukan, seandainya Anda tidak pernah ditentang dan ditantang. Ada pepatah yang memperingatkan, “Semakin tinggi pohon, semakin kuat anginnya.” Dirangkai dengan, “Kalau Anda tidak ingin diterpa angin, maka jadilah rumput dan relakanlah diri Anda untuk diinjak.” Hm, pilih yang mana? Bagi saya, akan jauh lebih menyenangkan menjadi besar, meskipun untuk itu saya terpaksa digencet oleh anti-brand. Siapapun dia!
Barangkali ada yang bertanya, “Saudara Penulis, apa yang mesti kami perbuat jika nyatanya anti-brand tidak pernah muncul?” Aha! Anda telah bertanya pada orang yang tepat. Jawaban saya, “Ciptakanlah anti-brand bagi merek Anda sendiri!” Terkejut? Ah, kalau begitu, jantung Anda terlalu lemah. Semestinya, Anda tidak perlu terkejut.
Coba cermati dulu Elex Media Komputindo, Grasindo dan BIP yang merupakan seteru sekaligus sepupu dari Gramedia. Fanta, Sprite dan Sarsi yang merupakan saingan terdekat sekaligus saudara terdekat dari Coca Cola. Apa pula kaitan antara Radar Surabaya dan Jawa Pos? Mentari dan Matrix? Citylink dan Garuda? Nissan dan Infiniti? Semua jawabannya sama: anti-brand yang berasal dari satu keluarga besar. Begitulah anti-brand, layak untuk disambut. Hm, ada pertanyaan?
Dikutip dari buku Hot Marketing: Cara Paling Panas Mengorbitkan Merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar