Senin, 25 Oktober 2010

Menyelaraskan Otak Berfikir dan Otak Emosional

FF_70_brain1_fHasil penelitian Daniel Goleman, pengarang “Emotional Intelligence”, tentang otak dan ilmu perilaku yang dimuat “The New York Times”, menarik untuk dikaji. Dikatakannya, sesungguhnya kita memiliki 2 otak, yang satu berpikir (otak berpikir) dan satu yang merasakan (otak emosional). Biasanya, otak berpikir itu kita sebut otak kiri, dan otak emosional kita sebut otak kanan. Maksudnya apa-apa yang kita ketahui ada di otak berpikir, dan apa-apa yang kita rasakan ada di otak emosional. Saya kira, dikotomi emosional dengan berpikir kurang lebih sama dengan istilah “hati” dan “kepala”.
Sebenarnya mana yang lebih dulu terjadi? Menurut penelitiannya itu, Goleman menyebutkan, bahwa otak emosional ternyata terjadi lebih dulu sebelum otak berpikir. Lantas, sebenarnya apa segi manfaat yang bisa kita petik dari penelitiannya itu, khususnya bagi kita yang bergerak didunia usaha?
Saya kira, penelitian ini mengingatkan kita, bahwa di dalam kita mengetahui dunia usaha, sebaiknya bisa menyelaraskan antara otak berpikir dengan otak emosional. Keselarasan kedua otak itu bagi kita sangat dibutuhkan, terutama di dalam kita mengambil keputusan penting dalam bisnis. Keselarasan itu akan membuat kita lebih tepat dan bijaksana dalam mengmbil keputusan bisnis terlebih di saat persaingan bisnis seperti sekarang ini yang kerap kali menghadapkan kita kepada rentetan pilhan-pilihan cukup banyak.
Apalagi, kedua otak tersebut yang emosional dan yang berpikir, pada umumnya bekerja pada keselarasan yang erat, saling melengkapi, saling terkait di dalam otak. Di mana, emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir atau pikiran rasional. Sementara pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan emosi tersebut.
Tapi sebaliknya, jika saja keduanya tak ada keselarasan atau katakanlah otak emosionalah yang dominan serta menguasai otak berpikir, maka keseimbangan kedua otak itu akan goyah. Kita akan cenderung tidak bisa berpikir jernih, suka bertindak gegabah dan sering melakukan kesalahan fatal dalam setiap mengambil keputusan penting dalam bisnis. Kalau dominan otak berpikir, maka kita hanya sekedar bersikap analistis, dan mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Akibatnya menimbulkan hilangnya kegairahan dan antusiasme bisnis.
Oleh karena itu, kita jangan sampai kehilangan keselarasan kedua otak tersebut. Sebab, seperti juga yang ditegaskan oleh Dr. Damasio, seorang ahli neurologi, bahwa perasaan atau emosi biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan rasional. Otak emosional kita akan menunjukan pada arah yang tepat. Maka, adalah tindakan yang tepat, jika mulai sekarang kita bisa mengatur emosi kita sendiri.
Dalam konteks ini, saya berpendapat dengan pakar manajemen, Dr. Patricia Patton. Yang mengatakan, bahwa untuk mengatur emosi, kita bisa melakukan dengan cara belajar, yaitu :
Petama,
belajar mengidentisifikasi apa yang biasanya memicu emosi kita dan respons apa yang bisa kita berikan.
Kedua,
belajar dari kesalahan, belajar membedakan dalam segala hal di sekitar kita yang dapat memberikan pengaruh dan yang tidak memberikan pengaruh pada diri kita.
Ketiga,
belajar selalu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan kita.
Keempat,
belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan, waktu secara maksimal untuk menyelesaikan masalah.
Kelima,
belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa dampak positif dari terciptanya keselarasan kedua otak itu juga akan memunculkan tindakan-tindakan produktif, membuat kita semakin mantap dalam berbisnis, dan pada akhirnya akan berdampak positif bagi kemajuan bisnis kita.
Singkatnya, keselarasan itu sangat berkaitan dengan pemberdayaan diri kita. Di mana, kita mesti bisa mengontrol diri, dan menggunakan akal sehat. Dan, tentu saja, keselarasan itu tidak terwujud kalau kita masih juga memegang teguh sifat mementingkan diri sendiri. Sehingga, seorang wirausahawan yang bisa menyelaraskan otak berpikir dan otak emosional, akan sangat mungkin lebih berhasil dalam bisnisnya. Boleh jadi peluang menjadi wirausahawan yang kompeten, bernilai, professional, dan bahagia akan lebih bisa dicapai. Meski tak mudah kita menyeleraskan kedua otak tersebut, tapi saya yakin, kita harus berani mencobanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar