Sabtu, 23 Oktober 2010

Darah Lebih Kental Daripada Air

Paris  Hilton
Hari gini, siapa yang tidak tahu Paris Hilton? Ia adalah anak dari Richard Hilton dan Kathy Richards, yang juga ahli waris dari Hilton Hotels Corporation dan perusahaan real estate ayahnya. Di bukunya Confessions of the Heiress, ia melontarkan sejumlah tips sebagai seorang pewaris, “Pertama, pastikan lahir di keluarga yang tepat. Kedua, miliki nama yang hebat.” Ada pula seabrek tips lainnya yang rasa-rasanya mustahil diamalkan oleh orang kebanyakan. Sering saya bahas seminar-seminar saya bahwa menjadi muda dan kaya adalah sesuatu yang sukar untuk diraih. Bahkan, hampir-hampir mustahil. Hanya ada dua kemungkinan besar, apakah dia menjadi selebriti atau meneruskan bisnis keluarga. Adakah kemungkinan lain yang lebih masuk akal? Kalau memang masih ada, yah, silakan Anda buat buku tentang itu. ah, terkait orang muda yang kaya, banyak orang yang meremehkannya. Tukas orang-orang, "Ah, pantas saja dia kaya. Bisnis moyangnya! Kalau cuma begitu, saya juga bisa." Kelihatannya memang segampang seperti itu. Padahal anak muda ini juga menghadapi masalah tersendiri yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh entrepreneur yang merintis bisnis dari nol.
Ada beberapa masalah, katakanlah utang yang kadung bertumpuk-tumpuk, SDM yang terlanjur berjubel dan carut-marut, musuh bisnis di delapan penjuru angin, tuntutan idealis dari orangtua, dan masih banyak lagi. Repotnya lagi, itu semua dibebankan ke bahunya secara tiba-tiba jebret! tidak melalui tahapan-tahapan. Beda dengan entrepreneur biasa. Terlepas dari itu, bisnis keluarga, dosakah? Oh, tidak. Menurut saya, itu sih sah-sah saja. Terutama di Asia, yang mana hubungan antar kerabat begitu rapat. Lihat saja para penerus layaknya Anthony Salim, Putera Sampoerna, Sudhamek AWS, dan Rahmat Gobel. Andai saya di posisi mereka, mungkin saya juga melakukan hal yang sama meneruskan bisnis keluarga (Asalkan cocok, tentunya). Ya, iyalah. Ngapain repot-repot mengotak-atik bisnis dari nol yang kemungkinan berhasilnya jauh lebih kecil? Mendingan menggarap bisnis yang telah teruji.
Ambil contoh Chatalia. Ia menangani bisnis yang ia dirikan bersama ayahnya pada 2 Novemer 2002. Perusahaan ini menjadi pengelola ritel sepatu ABS (All 'Bout Shoes dan Arena Belanja Sepatu) Shoe Warehouse. Kemudian ia mengembangkan ritelnya dengan konsep swalayan di mana pengunjung dapat mencomot sendiri sepatu yang mereka suka. Gerai ABS tersebar di Tangerang, Bandung, dan Bogor. Adapun investasi untuk menegakkan gerai di Bandung mencapai Rp 6 miliar. Serupa dengan Annete. Usai mengumpulkan jam terbang profesional selama lima tahun di Australia, Annete kembali ke tanah air membantu bisnis keluarga Grup Tugu Hotel. Seterusnya lulusan Teknik Komputer Monash University ini mengendalikan bisnis resto Lara Djonggrang & La Bihzad Bar dan Tao Bar & Dapur Babah Elite. Di sini, pemilik nama asli Melati Tanjungsari kelahiran Malang ini mengutamakan ciri khas asli Indonesia. Misinya, demi mengharumkan nama Indonesia ke pentas kuliner dunia. Tidak tanggung-tanggung Megawati Soekarnoputri, Andi Malarangeng dan Murdaya Poo masuk dalam daftar pelanggannya. Pada 2006 Annete merintis Restoran Shanghai Blue dan Samarra.
Nah, jarang disadari oleh kebanyakan orang, bisnis keluarga memendam benih-benih positif tersendiri. Apa saja sih? Pertama, tingkat loyalitas yang lebih tinggi. Si anak pastilah nurut dan ngikut apa saja yang diperintahkan oleh atasannya, yang kebetulan adalah ayah atau pamannya sendiri. Bekerja sampai 12 jam sekalipun tidak masalah. Toh, itu untuk dia dan keluarganya juga. Ada kompetitor atau krisis? Pasti akan dia sikat habis-habisan. Bukan semata-mata karena bisnis, tapi juga demi nama baik keluarga. Kedua, kadar pengenalan yang lebih intens. Buat apa susah-susah merekrut orang lain yang belum jelas karakter dan performance-nya? Penyesuaian dengan orang baru juga bukan perkara gampang. Yah, mendingan ngambil kerabat sendiri yang sudah ketahuan karakter dan performance-nya. Itulah alasan mengapa Sudono Salim melantik putranya, Anthony Salim untuk memerintah seluruh kerajaan bisnisnya. Ternyata dari dulu, yah sudah begitu.
Awal abad 13, tampuk kekuasaan Sang Penakluk Genghis Khan juga diserah-terimakan kepada putranya, Ogadai Khan, yang lalu digilirkan pada keturunan berikutnya, yakni Mangu Khan & Kublai Khan. Dampaknya, pengaruh Genghis Khan dan anak-cucunya terus bersemayam di tanah Asia selama berabad-abad. Suatu tingkat pencapaian yang gagal disamai oleh Alexander Agung sekalipun. Sejarah Genghis Khan barangkali serupa dengan kisah Jackson Five, yang bertunas menjadi megabintang sekaliber Michael Jackson, Janet Jackson, dan La Toya Jackson. Lagi pula agama menganjurkan membantu anggota keluarga terlebih dahulu ketimbang orang lain. Pepatah dari dataran Tiongkok juga mengisyaratkan, "Darah lebih kental daripada air." Keluarga itu lebih utama daripada pertemanan, apalagi orang lain. Tentunya, jangan sampai menjurus ke nepotisme yang salah kaprah. Ndak benar itu! Janet Jackson saja terpaksa mendepak ayahnya sebagai manajer karena dianggap bermasalah.
Lantas, adakah sisi negatifnya? Ya pastilah. Masak mau enaknya saja? Pertama, tercampurnya persoalan pribadi dengan bisnis. Sepasang suami-istri yang tengah goncang rumah-tangganya, mana bisa ngurusin pekerjaan sama-sama. Iya tho? Belum lagi kerabat-kerabat yang tidak kebagian posisi. Tidak jadi soal apakah mereka kompeten atau tidak, pasti tuh mereka jealous dan ngomel-ngomel. Dan tahukah Anda, berdasarkan fakta sejarah, perang saudara (civil war) itu jauh lebih kejam daripada perang manapun. Selalu seperti itu! Pada akhirnya, hubungan antar anggota keluarga pun bisa retak bahkanberantakan. Begitulah, persoalan keluarga berimbas ke bisnis atau sebaliknya persoalan bisnis merembet ke keluarga. Vice versa.
Sisi negatif lainnya, apabila si orangtua kurang cermat, maka si anak bisa manja, mau enaknya saja, dan ogah berproses. Dahlan Iskan, pentolan Jawa Pos Group, malah melakoni kebalikannya. Beneran! Si anak Azzrul Ananda justru digembleng dan 'dipaksa' untuk tumbuh dari bawah di perusahaannya. Nah, itu bagus. Jadi, akarnya kuat. Tidak seperti tanaman cangkokan yang tiba-tiba saja nemplok di atas. Kedua mantan atasan saya di Malaysia juga begitu. Anaknya dibiarin saja berkeringat-keringat mengelola bisnis keluarga. Eh, bukan mereka tidak sayang sama anak. Justru karena mereka sangat sayang. Mereka bersikap begitu, karena ingin mendidik dan mengasah anaknya. Bukan digojlok asal-asalan. Saya setuju itu. Begitulah, darah lebih kental daripada air. Terakhir, saran saya untuk pengelola bisnis keluarga, hormatilah entrepreneur yang merintis bisnis dari nol. Begitu pula entrepreneur, hormatilah pengelola bisnis keluarga. Kedua-duanya memiliki dilema tersendiri yang saya jamin masing-masing pasti terkaget-kaget seandainya bertukar posisi. Percayalah, memang begitulah adanya. Saya sama sekali tidak mengada-ada. Anda pikir saya tukang dongeng?
Saran saya khusus untuk pengelola bisnis keluarga, jangan pernah jadi tumbuhan benalu, yang bisanya cuma morotin induknya. Tidak malu apa? Jadilah pemberi pupuk, di mana Anda turut memelihara bahkan membesarkan bisnis. Kalau orangtua Anda berhasil dengan bisnisnya, berarti Anda harus lebih daripada itu. Bukankah Anda sudah diberitahu ilmunya tidak perlu lagi menjalani sendiri untuk mengetahuinya. Bukankah Anda sudah didukung materi tidak perlu lagi mengais-ngaisnya sendiri.
Dikutip dari buku 10 Jurus Terlarang! Kok Masih Mau Bersaing Cara Biasa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar