I decided long ago / Never to walk in anyone's shadow / If I fail, if I succeed / At least I'll live as I believe / No matter what they take from me / They can't take away my dignity
Because the greatest love of all / Is happening to me / I found the greatest love of all / Inside of me
The greatest love of all / Is easy to achieve / Learning to love yourself / It is the greatest love of all Kutipan lirik lagu The Greatest Love of All di atas, dapat menggambarkan geliat dan pergumulan hati Ken Soetanto, pada saat ia terpaksa harus berhenti bersekolah. Tahun 1965, ketika terjadi gejolak politik, Chung-Chung High School di Surabaya - Jawa Timur ditutup pemerintah. Padahal waktu itu, ia baru duduk di kelas satu SMA.
Maka, selanjutnya ia bekerja di toko milik kakaknya. Sembilan tahun kemudian, akhirnya ia berhasil berangkat ke Jepang untuk melanjutkan sekolah.
Berbekal semangat belajar tinggi, tekad yang pantang menyerah, serta terus menggenggam erat mimpi-mimpinya, Ken berhasil meraih gelar profesor dan empat gelar PhD/Doktor dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), kemudian gelar Doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Bahkan dari pengembangan interdisipliner dari keempat ilmu yang dikuasainya, Soetanto telah menghasilkan 29 paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat.
Berbagai penghargaan berhasil diraih Soetanto, di antaranya Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS. Juga predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut di Toin University of Yokohama. Sebuah pencapaian yang bukan hanya sangat luar biasa, akan tetapi bahkan terbilang nyaris mustahil. Mengingat, sebelumnya begitu banyak rintangan yang harus ia hadapi. Mulai dari para akademisi Jepang yang meremehkannya sampai kisah masa kecilnya yang rapuh dan mengidap penyakit TBC saat masih tinggal bersama ibu tirinya.
Lalu, dari mana semua keberhasilannya itu ia peroleh? Jawabannya, seperti bunyi pepatah lama "There is no Greatness, without Suffering! Tak ada KEAGUNGAN tanpa PENDERITAAN". Seperti apa persisnya penderitaan yang di lalui Soetanto di masa kecilnya? Serta bagaimana ia terus berusaha berkelit dari semua rintangan yang datangmenghadang? Berikut kronologinya.
Sukses yang Tertunda
Saat sekolah SMA-nya ditutup, Soetanto terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko milik kakaknya. "Setiap tutup toko jam delapan malam, saya belajar sampai jam lima pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini masih saya bawa sampai sekarang, dan inilah semangat yang kemudian mendorong saya untuk mengambil sekolah di Jepang," kisahnya kepada majalah motivasi LuarBiasa. "Setelah saya bisa, kemudian saya mulai muter ke toko-toko elektronik yang ada di Blawuran, untuk menawarkan reparsi secara cuma-cuma. Saya ditanya kamu siapa? Apa bisa reparasi? Waktu itu orang belum percaya kepada saya. Biasanya saya jawab: nanti nggak usah bayar, kalau rusak komponennya saya ganti. Waktu itu saya keliling memakai sepeda."
Meski tokonya kemudian berkembang sangat pesat, sehingga Soetanto pun berhasil mengumpulkan banyak sekali uang, akan tetapi panggilan jiwanya tak berhenti mengusik. Ia tak sedikit pun bermimpi ingin menjadi pedagang, meski bakal berhasil sekaya apa pun. Keinginannya pada waktu itu hanya satu, yaitu ingin terus menuntut ilmu, dan menjadi ilmuwan. Akan tetapi dalam suasana sosial politik di Indonesia pada waktu itu, peluangnya boleh dibilang mustahil. Karena itulah mimpi berikutnya adalah sekolah di Jepang.
"Untuk biaya sekolah ke Jepang, kebetulan saya punya tabungan dan kakak saya juga akan membantu separuhnya. Sebetulnya kakak saya menentang, dia bilang: orang yang lulus S1 saja inginnya menjadi manajer, lha kamu yang punya perusahaan sendiri kok mau kembali menjadi kere? Saya ingin sekolah lagi karena saya merasa bahwa selama berusaha mencari uang, perasaan saya hampa, sehingga hanya berjalan begitu-begitu saja. Saya memerlukan teknik, untuk bisa mengabdi kepada masyarakat. Sebetulnya saya punya dua pilihan, yaitu sekolah ke Jerman atau ke Jepang. Tetapi akhirnya saya lebih memilih ke Jepang."
Ketika akhirnya Soetanto berhasil meneruskan sekolah ke Jepang, perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. "Pada saat mulai belajar bahasa di sana, saya diremehkan. Sebab, saat sekolah itu umur saya sudah 27 tahun. Dan di sana, lazimnya pada saat umur 27 tahun, orang sudah lulus S3 dan sudah memperoleh gelar PhD. Kalau dihitung-hitung, saya sudah telat delapan tahun.
Rencananya saya mau sekolah di Jepang selama satu tahun, tapi akhirnya sampai empat tahun. Pada saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba perusahaan kakak saya di Pasar Turi, terbakar. Waktu itu sekitar 3.500 sampai 4.500 toko terbakar habis dalam waktu 3 hari. Karena itu kakak saya bilang, ‘Maaf saya sudah sudah tidak bisa membantu biaya kamu lagi, kamu sebaiknya pulang sekarang.' Saya jawab, ‘Saya pasti lulus! Untuk itu, saya tetap akan meneruskan sekolah tanpa kiriman dari kakak.' Kebetulan saya di Jepang mengajar privat, dengan penghasilan 40 ribu yen, atau kira-kira sepertiga dari biaya hidup yang saya butuhkan. Singkatnya, never-never give up, saya kejar terus," kisahnya, tentang masa-masa awal ia menerima cobaan.
Soetanto berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun, S2 selama dua tahun, dan S3 di Tokyo Institut of Technology selama tiga tahun. "Setelah persis tiga tahun lulus S3, saya merasa harus pulang ke Indonesia, untuk membawa istri dan anak saya datang ke Jepang. Kebetulan saya mempunyai dome yang murah, sehingga bisa mengajak istri dan anak tinggal di Jepang. Tapi ternyata setelah satu setengah tahun mencari pekerjaan, saya nggak mendapatkannya. Dari lima puluh surat aplikasi (lamaran) yang saya kirim nggak ada satupun yang dijawab! Saya sempat heran, Tokyo Institut of Technology sekolah saya itu, merupakan sekolah yang bagus, setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai saya pun juga bagus, tapi nyatanya kok nggak ada satu pun yang mau membalas lamaran saya. Sampai akhirnya saya tahu, bahwa ternyata orang Indonesia atau orang luar negeri nggak mungkin bisa bekerja sebagai akademisi di Jepang. Ada semacam tembok penghalang yang merintangi.
Saya terus berusaha mencari jalan keluar, sampai kemudian saya berkesimpulan, bahwa satu-satunya cara agar bisa dapat pekerjaan, saya harus melebihi kepintaran orang Jepang. Saya harus lebih pintar, lebih jago dari mereka. Tapi bagaimana caranya? Pada saat itu saya sudah memiliki gelar PhD di bidang elektro," kenang Soetanto.
Soetanto akhirnya kuliah lagi. Kali ini Soetanto mengincar gelar PhD di bidang kedokteran. "Mestinya, waktu yang saya butuhkan untuk sampai mencapai gelar PhD sekitar tujuh tahun. Tapi syukurnya, dalam waktu 3,5 tahun saya sudah meraih gelar Doktor. Dengan mengaintongi dua gelar PhD, saya merasa menjadi orang top. Kalau istilahnya orang Jepang, seperti ‘hantu yang membawa besi.' Hantu itu sudah ditakuti, apa lagi masih ditambah membawa besi, maka akan sangat ditakuti dan kuat. Dalam pikiran saya, pasti saya bakal langsung dapat pekerjaan. Karena saya merasa seperti layaknya Doktor lulusan Stanford dan Doktor lulusan Harvard di Amerika. Tapi siapa sangka, pada saat saya kembali mencari pekerjaan, ternyata saya tidak juga mendapatkannya. Padahal biaya hidup, saya sudah nggak punya. Sampai anak istri saya ungsikan ke Hong Kong di tempat kakaknya.
Karena tidak punya uang, tempat tinggal saya ganti dengan yang lebih kecil. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada telepon dari profesor saya, yang saya panggil dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini benar-benar pintar, sangat hebat, patennya hampir mencapai 900 item, tetapi sangat kejam. Dia menelepon saya, memberi kabar bahwa dia sudah pensiun. Kemudian ia minta tolong saya, untuk mengurusi murid-murid kiriman Pak Habibie dari Indonesia.
Singkatnya, pada waktu bertemu dia sempat mengeluh, "Aduh, saya pusing menjadi Chairman, karena disuruh mencari dosen Biomedical, di Jepang mana ada?'
Maka segera saya jawab, ‘Pak saya ini dari kedokteran dan biomedical.' Dia bingung mendengar jawaban saya. Profesor ini dulu dosen saya di S1 dan S2. Tak lama kemudian dia tanya, ‘Apa kamu bisa?' Singkat cerita, saya dikenalkan ke Rektor. Setelah itu saya dites. Hasilnya? Respektor saya 37, sudah sangat cukup, bahasa Inggris saya juga cukup. Mereka bilang: Ya sudah, besok kirim aplikasinya."
Seketika Soetanto merasa sangat senang sekali! Akhirnya dia berhasil mendapat pekerjaan juga. ‘Tuhan memang mangasihi orang-orang yang tidak putus asa', begitu pikirnya. "Saking senangnya, aplikasi papernya saya buat serapi mingkin. Sampai saya harus menyiapkan hingga jam lima pagi. Saya nggak berani tidur, karena jam 7 pagi saya mesti sudah berangkat ke universitas untuk menyerahkan aplikasinya. Pada saat saya memasuki kampus, orang-orang nggak ada yang melihat saya. Sudah jam 9, akhirnya saya permisi memperkenalkan diri, ‘Saya ini Soetanto yang kemarin datang bersama profesor IT.' Sampai saya menunggu selama 45 menit, semuanya masih pada diam.
Sekali lagi saya buka suara, ‘Saya ini Soetanto muridnya profesor IT yang kemarin ke sini, Anda kemarin juga ikut menemui saya kan?' Lagi-lagi, semua tetap diam.
Baru sekitar jam setengah 11 siang, profesor keluar dari ruangan, saya senang sekali. Tiba-tiba, si profesor berkata ‘Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang, lupakan aplikasi kamu!' Wah...saya jadi bingung. ‘Yang menyuruh kan Anda? Yang mencari dosen kan Anda? Yang suruh bawa aplikasi juga Bapak sendiri kan?'
Dengan dingin dia bilang kepada saya, ‘Kamu ke sini kan untuk belajar dari orang Jepang.' Mendengar jawaban itu kontan saya menangis. Profesor itu menambahkan. ‘Kamu itu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar orang Jepang? Orang Jepang tidak butuh kamu!' Hati saya benar-benar hancur saat itu," tutur Soetanto.
Namun, netter yang luar biasa, semua peristiwa pahit yang dialami Soetanto sejak masih kecil hingga berbagai tekanan yang diterimanya di Jepang, seakan memang dimaksudkan "kehidupan," untuk mempersiapkannya. Sebagaimana tekanan dan panas bumi dalam suhu tinggi yang mampu mengubah batu bara biasa, menjadi berlian yang indah. Begitu pula yang terjadi pada Soetanto. Beliau kini telah menjelma menjadi "orang besar". Ia adalah orang pertama dari luar Jepang yang bisa menduduki level jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda-salah satu universitas paling top di Jepang, bahkan dunia, khususnya dalam hal sains. Tahukah Anda? Kementerian Pendidikan Jepang bahkan membiayai risetnya hingga 14 juta dollar AS (sekitar Rp144 miliar) per tahun.
Ken Soetanto juga menjadi salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1100 karya ilmiahnya. Kini, ia menjabat sebagai guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda, guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang, dan anggota Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology.
Prof Ken, ketika sedang berbagi kisah, ilmu, dan inspirasi, dalam seminar "Create Your Hoki/Success in Business and Career", 20 Februari lalu di Jakarta.
Sebagaimana dialami oleh Albert Einstein yang pada waktu kecil benar-benar dianggap sebagai anak yang payah serta bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika, tapi kemudian malah berhasil menjadi fisikawan terbesar Abad Dua Puluh. Begitu pula dengan kisah hidup Ken Soetanto, yang kini telah berhasil menemukan ergon-nya. Di mana karya-karyanya merupakan amal, dharma atau pelayanan bagi banyak orang, sebagaimana ia mimpikan sejak usia muda.