Benarkah setiap kebaikan akan menuai kesuksesan? Ada yang percaya dan ada juga yang tidak. Tapi sejatinya setiap kebaikan akan berdampak kebaikan. Sebaliknya, keburukan pun akan berdampak pada keburukan pula. Apa yang kita semai itulah yang akan kita tuai.
Ada cerita seorang teman yang sangat menarik. Dia berpendidikan tidak terlalu tinggi, tapi tingkat ketulusan serta investasi kebaikannya jangan ditanya. Apapun yang bisa dia lakukan untuk kebaikan, dia lakukan. Padahal secara harta dia hanya seorang buruh pabrik dengan gaji setara upah minimum kota (UMK). Bisa dihitung sendiri berapa jumlahnya. Padahal dia harus mencicil rumah BTN dan mencicil kredit motornya.
Tak pernah terlihat wajah duka di dirinya. Yang terlihat hanya senyuman tulus yang selalu berkembang ketika suka maupun duka. Tingkat keyakinannya sangat tinggi bahwa ketika melakukan kebaikan dia akan mendapatkan balasan kebaikan pula. Walapun dia sendiri sadar bahwa balasan atas kebaikan tersebut bisa langsung dirasakan saat itu, bisa juga balasannya kelak. Atau balasannya bahkan diberikan di akhirat nanti.
Secara tidak disengaja, saya berbincang-bincang dengan dia tentang perjalanan hidupnya. Ketika muda dulu, dia hidup di pesantren. Selain mengaji, dia mengepel rumah kiai, mencuci pakaiannya. Itu dia lakukan dengan tulus. Balasannya, memang dia diberi fasilitas makan selama tinggal di sana.
Entah sudah berapa lama dia lakukan itu semua, mungkin tidak kurang dari 3 tahun. Tiba-tiba Kiainya memanggil dia.
"Nak, maukah kau naik haji dengan Pak Kiai?"
Mendengar kata itu dia termenung, bingung, tidak percaya.
"Apakah ini benar Pak Kiai?" tanya dia seolah menyangsikan pembicaraan kiainya.
"Benar, kalau kau mau tahun ini kita berangkat bersama-sama. Ini balasan kamu atas ketulusanmu selama ini. Semoga kamu bisa lebih mensyukuri nikmat yang ada."
Berangkatlah teman saya itu naik haji walapun dia masih bingung dengan keajaiban tersebut. Usianya masih cukup muda, belum punya isteri. Luar biasa.
Waktu terus berjalan. Tidak berhenti sampai di sana. Beberapa tahun kemudian ketika dia pindah ke sebuah rumah BTN, dia mengajari membaca al Quran untuk anak-anak sekitarnya. Anehnya, dia tidak mau sedikit pun menerima bayaran dari mengajari ngaji tersebut. Bahkan yang memberi, dia tolak secara halus. "Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengajari anak-anak," katanya sederhana.
Hal itu dia lakukan selama beberapa tahun.
Hal itu dia lakukan selama beberapa tahun.
Pernah satu ketika dia bersama istrinya berniat untuk menunaikan ibadah haji. Sampai batas waktu yang ditentukan masih kurang sebanyak Rp 3 juta. Malam harinya dia berdoa kepada Allah SWT supaya diberikan jalan keluar.
Keesokan harinya ada orangtua santri yang belajar ngaji di situ. Kemudian orangtua tadi berkata, bahwa dirinya mau memberikan sesuatu kepada teman saya tadi. Kalau pemberiannya ditolak, anaknya yang mengaji di situ tidak akan melanjutkan mengaji.
Dalam kondisi yang serba salah itu, teman saya tidak bisa berkata apa-apa. Setelah tamunya pergi, dia buka amplop tersebut. Ternyata isinya uang Rp 3 juta. Sama persis dengan kekurangan Ongkos Naik Haji (ONH). Dia berlinang air mata, ternyata Yang Maha Kaya mendengar doanya.
Melihat cerita di atas saya termenung dan mengangguk-anggukkan kepala. Bahkan tidak jarang menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub. Kalau kita mau berbuat baik sebenarnya banyak cara yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita. Dan kebaikan tersebut bisa di-saving (ditabung) untuk kita sendiri. Kebaikan yang kita saving makin lama makin bertambah banyak. Bisa kembali dalam bentuk kebaikan, harta, kedudukan atau ketenangan.
Tabungan Keburukan
Demikian halnya dengan keburukan, kalau kita melakukannya maka akan menjadi tabungan buruk kita. Dan kalau kita tidak cepat-cepat bertaubat atau meminta maaf kepada orang yang bersangkutan, tabungan itu semakin hari akan semakin bunga berbunga. Kalau tabungan positif kembali kepada kita itu berkah bagi kita. Sebaliknya kalau tabungan negatif yang datang bagaimana akibatnya?
Pembaca mungkin masih ingat dengan cerita seorang penulis buku Jamil Azzaini yang mempunya tabungan negatif kepada ibunya dalam waktu yang lama, sehingga istrinya masuk rumah sakit dan penyakitnya tidak juga diketahui. Sampai-sampai isterinya harus disuntik 3 kali sehari, dengan biaya sekali suntik Rp 12 juta. Baru setelah dia berdoa dia teringat bahwa dia pernah mencuri uang Rp 125 waktu kecil untuk membayar SPP dan jajan.
Ibunya yang tidak mengetahui siapa pencurinya marah besar dan bersumpah tidak akan memaafkan pencuri itu sebelum pencuri minta maaf. Jamil menelepon ibunya dan berkata bahwa dialah yang mencuri uang itu. Jamil meminta maaf, karena akibat dia mencuri tadi isterinya sakit tak kunjung sembuh. Ibunya terkaget-kaget dan dia memaafkan Jamil saat itu juga. Herannya, setelah dia meminta maaf kepada ibunya, dokter berkata bahwa penyakit isteri Jamil sudah diketahui dan obatnya sangat murah.
Melihat cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan betapa kebaikan akan melipatgandakan kebaikan, dan keburukan pun akan mendatangkan keburukan yang lebih banyak lagi. Yang bisa mengambil pelajaran dari cerita di atas akan sangat hati-hati ketika berbuat sesuatu. Pertanyaan yang harus sering diulang-ulang kepada diri kita sendiri adalah: apakah yang akan dilakukan adalah kebaikan atau keburukan.
Tapi mengapa masih banyak orang yang berbuat buruk, negatif, jelek, menyakiti hati orang lain, korupsi, berbuat maksiat, dll? Bahkan setelah ditimpa musibah pun masih saja berbuat negatif. Inilah bedanya orang-orang yang berpikir dan orang-orang yang tidak berpikir. Orang yang punya kepekaan nurani dan orang-orang yang nuraninya tertutup. Akhirnya yang berbicara adalah hukum universal, yang menabur kebaikan akan menuai kebajikan, yang menuai kejelekan akan menuai keburukan. Semuanya harus dipertanggungjawabkan baik di masa kini maupun di masa mendatang. Dan tidak ada satu pun catatan yang tertinggal...